Menu
Perbankan
Finansial
Asuransi
Multifinance
Fintech
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jadi Polemik, Ketahui Seluk Beluk Kewajiban Spin Off Unit Usaha Syariah

Jadi Polemik, Ketahui Seluk Beluk Kewajiban Spin Off Unit Usaha Syariah Kredit Foto: Istimewa
WE Finance, Jakarta -

Industri perbankan yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) tengah dihebohkan dengan kebijakan kewajiban alih usaha atau spin off UUS menjadi Bank Umum Syariah (BUS) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Pasalnya, regulasi itu mengatur bahwa UUS wajib melakukan spin off bila nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50i total aset bank induknya atau 15 tahun setelah berlakunya UU. Sementara, UU disahkan pada 16 Juli 2008. Artinya, UUS wajib melakukan spin off sebelum 16 Juli 2023 apabila kebijakan tidak direvisi.

Regulasi tersebut memancing banyak respons dari berbagai pihak, terutama dari pelaku industri jasa keuangan itu sendiri. Salah satu perbankan yang sangat aktif menyuarakan soal isu ini adalah PT CIMB Niaga Tbk yang memiliki UUS CIMB Niaga Syariah.

Baca Juga: CIMB Niaga Soal UUS: Rendahnya Literasi Jadi Kunci, Perbanyak BUS Bukan Solusi

“Jika kewajiban spin off diterapkan pada 2023, maka akan lahir sekitar 21 BUS baru dengan modal cekak dan kemampuan terbatas. Akibatnya, alih-alih akan mempercepat pertumbuhan market share, justru sebaliknya, membuat perbankan syariah tidak kompetitif,” kata Pandji P Djajanegara, Direktur Syariah Banking CIMB Niaga, saat media training di Denpasar, Bali, Kamis (25/8/2022).

Senada, Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Herwin Bustaman mengungkapkan masih ada enam Bank Umum Konvensional (BUK) dengan UUS yang masih memiliki modal di bawah ketetapan untuk melakukan spin off. Sebab, kebijakan mengatur bahwa BUK yang ingin memisahkan UUS perlu memiliki modal induk sebesar Rp3 triliun dan modal spin off BUS sebesar Rp1 triliun. Artinya, bank perlu memiliki modal setidaknya sebesar Rp4 triliun.

Kondisi yang sama juga terlihat pada Bank Pembangunan Daerah (BPD). Menurut Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan (KNEKS), masih ada 12 BPD yang ukuran bisnisnya masih belum mumpuni untuk melakukan spin off.

“Kalau wajib spin off, akhirnya mereka jadi bank kecil yang tidak kompetitif,” ujar Yosita Nur Wirdayanti, Kepala Divisi Perbankan Syariah KNEKS, kepada WE Finance, Rabu (24/8/2022).

Untung-Rugi UUS Lakukan Spin Off

Kebijakan kewajiban spin off UUS menjadi BUS memiliki motif untuk mendorong pertumbuhan serta memperkuat industri perbankan syariah Indonesia. Dengan beralihnya UUS menjadi BUS, maka akan makin banyak pemain BUS di ekosistem syariah Indonesia ke depannya.

Pemerintah sendiri membidik pencapaian target pangsa pasar syariah sebesar 20% pada 2024. Adapun capaian per akhir 2021, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat angkanya masih berada di 6,7%.

Namun, berbeda dengan motif lahirnya kebijakan spin off UUS, kinerja UUS selama lima tahun terakhir menunjukkan progres yang positif. Berdasarkan data OJK, UUS dapat menjaga Return on Assets (ROA) di atas 2%, berbeda dengan BUS yang mencetak angka di bawah UUS. Hal ini mengindikasikan, UUS dapat memanfaatkan aset yang dimiliki untuk mendapatkan laba.

Di sisi lain, Financing to Deposit Ratio (FDR) UUS berada di kisaran 80% hingga 100%, sementara BUS berada di kisaran 70% sampai 78%. Artinya, UUS dapat mengoptimalkan penyaluran pembiayaan dengan lebih baik sehingga likuiditas bank dapat terjaga.

Capaian positif juga tercermin pada kinerja Non-Performing Financing (NPF) UUS yang bertahan di kisaran 2% sampai 3%. Sementara NPF BUS tercatat di angka 3% ke atas. Kinerja ini menunjukkan UUS memiliki kualitas aktiva produktif yang lebih baik dibandingkan BUS.

Sementara, bila spin off dipaksakan, industri jasa keuangan syariah khawatir akan berdampak pada penurunan kinerja UUS.

Head of Sharia Business Banking CIMB Niaga Syariah Riboet Budiono mengungkapkan setidaknya terdapat tiga efek yang akan menekan pertumbuhan bisnis syariah bila spin off UUS tetap dipaksakan.

Pertama, dampak pada Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berpotensi menurun secara masif. Karena perusahaan memiliki kecenderungan untuk bekerja sama dengan bank yang masuk Kelompok Bank Modal Inti (KBMI) 4 dan 3. Jadi, bank syariah terpaksa harus memberikan rate lebih tinggi agar korporasi mau menempatkan dananya di kami,” jelas Riboet.

Kondisi itu kemudian akan menimbulkan dampak berikutnya, yakni rate pembiayaan yang tidak kompetitif lantaran melonjaknya biaya dana Cost of Fund (CoF). Pada akhirnya, akan terjadi penurunan kualitas nasabah yang berujung menaikkan rasio pembiayaan bermasalah atau NPF.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: