Menu
Perbankan
Finansial
Asuransi
Multifinance
Fintech
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonomi Membaik, BRI Targetkan Loan at Risk (LAR) Kembali Single Digit di 2025

Ekonomi Membaik, BRI Targetkan Loan at Risk (LAR) Kembali Single Digit di 2025 Kredit Foto: BRI
WE Finance, Jakarta -

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menargetkan kredit yang direstrukturisasi kembali menjadi single digit dari total jumlah portofolio kredit pada tahun 2025, atau sama seperti kondisi sebelum krisis akibat pandemi melanda.   

Direktur Manajemen Risiko BRI, Agus Sudiarto menjelaskan secara akumulatif kredit BRI yang direstrukturisasi karena pandemi tertinggi mencapai 30% dari total portofolio kredit, yang puncaknya terjadi sekitar September 2020 dengan nilai lebih dari Rp 250 triliun. 

“Alhamdulillah saat ini sudah jauh berkurang. Posisi Juni 2023 tinggal sekitar Rp 83,2 triliun atau sekitar 7,64% dari total kredit BRI. Jadi setiap bulan kami turun antara Rp 3 triliun sampai Rp 5 triliun. Mudah-mudahan sisanya ini bisa kami kelola hingga akhir tahun ini terus menurun," ujar Agus dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (21/7).

Dia berharap porsi tersebut dapat terus turun hingga rasio Loan at Risk (LAR) BRI bisa kembali dari 15,1% di Juni 2023 ke single digit. 

"Mungkin akan kami dapat di akhir tahun depan atau tahun 2025,” imbuhnya.

Baca Juga: OJK Rilis Regulasi Baru, Atur Pemisahan Unit Usaha Syariah Perusahaan Penjaminan

Kendati demikian untuk memperkuat kondisi yang semakin membaik, Agus menerapkan strategi konservatif dengan mengalokasikan dana pencadangan yang lebih dari memadai sebagai salah satu mitigasi risiko.

Adapun NPL coverage BRI selama masa pandemi yaitu mencapai sebesar 247,98% pada 2020, atau naik menjadi 278,14% pada 2021. Pada 2022 persentasenya ditingkatkan menjadi 291,54%. Sedangkan pada kuartal I/2023 sebesar 268,93%.

“Jadi 2020, 2021 sampai 2022 memang kami di BRI melakukan upaya mitigasi yang sangat konservatif. Di mana pencadangan-pencadangan yang kami lakukan cukup memadai sehingga dibandingkan posisi pre-pandemic kenaikannya cukup signifikan,” jelas Agus.

Baca Juga: CIMB Niaga Dukung Pengembangan Usaha 50 UMKM di Indonesia Timur

Hal itu pun mengatrol cost of credit, yang biasanya sebelum pandemi hanya sekitar 2% menjadi 3% selama masa pandemi. Sedangkan untuk tahun ini, perseroan memproyeksikan cost of credit  mulai turun dan berada di kisaran 2,2-2,4%.

Menurut Agus, meski kondisi industri perbankan nasional saat ini lebih baik dan cost of credit BRI mulai turun setelah didera pandemi, manajemen perseroan tetap melakukan pencadangan secara konservatif. 

"BRI tidak ingin mengabaikan kondisi ekonomi di tataran global yang masih penuh ketidakpastian," tuturnya.

Seperti diketahui kondisi geopolitik di Eropa karena karena perang Ukraina-Rusia masih memanas. Era suku bunga tinggi diberlakukan banyak bank sentral termasuk di Amerika Serikat pun masih terjadi. Belum lagi inflasi di berbagai belahan dunia masih tinggi.

Agus memaparkan kondisi di Tanah Air masih lebih baik dari beberapa kawasan, baik dari sisi tingkat inflasi maupun pertumbuhan ekopnomi kita juga masih relatif lebih tinggi di banding kawasan lain. Hal ini tentunya berpengaruh pada kondisi di sektor perbankan. 

"Meskipun kondisi perbankan lebih baik, kami tetap melakukan pencadangan secara konservatif. Jadi meskipun kondisi domestik membaik, kami tidak mengabaikan kondisi di luar,” pungkasnya.

Baca Juga: Mitigasi Risiko Kredit, Bank BRI Perkuat Pencadangan

Penulis: Alfi Salima Puteri
Editor: Ferrika Lukmana Sari

Bagikan Artikel: