Menu
Perbankan
Finansial
Asuransi
Multifinance
Fintech
Video
Indeks
About Us
Social Media

Miliki Ceruk Pasar Besar, Ini Sederet Tantangan Bisnis Paylater di Indonesia

Miliki Ceruk Pasar Besar, Ini Sederet Tantangan Bisnis Paylater di Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
WE Finance, Jakarta -

Direktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Mulia R.H. Simatupang memperkirakan bisnis Buy Now Pay Later (paylater) memiliki prospek yang cerah. Sebab, bisnis paylater memiliki ceruk pasar yang besar disertai dengan tingginya tingkat pertumbuhan konsumen yang menggunakan paylater untuk berbelanja.

Meski demikian, bisnis paylater ini memiliki sejumlah tantangan yang dihadapi pada perusahaan yang bermain pada bisnis ini. Pertama, risiko kredit, risiko anti-pecucian uang dan pencegahan terorisme.

"Perusahaan paylater cenderung mengutamakan kecepatan dan kemudahan dalam penyaluran pembiayaan, namun belum disertai dengan proses credit scoring atau screening yang membadai," ujarnya dalam acara konferensi pers "Peluncuran Laporan Perilaku Konsumen E-Commerce Indonesia Tahun 2023 di Jakarta, Rabu (14/6).

Selanjutnya, tantangan yang perlu diperhatikan perusahaan paylater adalah risiko strategis. Mulia menambahkan, rata-rata perusahaan paylater memiliki tingkat laba yang rendah dibandingkan dengan besaran aset yang dikelola atau disebut dengan return on asset.

"Hal tersebut karena beban marketing yang merupakan bagian dari kerja sama dengan platform ada promo - promo cashback, promo compost steering gratis dan sebagainya yang cukup besar sehingga terdapat potensi ke depan bisnisnya kurang berkelanjutan," ungkapnya.

Baca Juga: Beri Kemudahan ke Nasabah, BRI Luncurkan Layanan Transaksi Valas di Aplikasi BRImo

OJK mengingatkan agar manajemen perusahaan pembiayaan paylater secara berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya dan perlu diimbangi dengan mitigasi risiko. Hal ini untuk menjaga tingkat non-performing financing (NPF) tetap berada pada level yang dapat ditolerir. 

Sehubungan dengan hal tersebut, OJK mencatat aset dari industri paylater telah mencapai Rp 7,4 triliun pada kuartal I 2023. Nilai tersebut dinilai masih kecil jika dibandingkan dengan perusahaan pembiayaan nonpaylater sebesar Rp 504 triliun.

"Jumlah perusahaan pembiayaan paylater baru 5 perusahaan di antara 153 perusahaan pembiayaan," kata Mulia.

Sementara itu, kualitas kredit atau Non Performing Financing (NPF) gross perusahaan pembiayaan paylater sebesar 5,16% pada kuartal I 2023. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan NPF gross perusahaan pembiayaan non paylater sebesar 2,37%.

Namun untuk NPF neto perusahaan paylater hanya sebesar 0,85%. Sedangkan NPF neto pada industri pembiayaan sebesar 0,61%. "Jadi lebih rendah dari threshold 5%. Kami menggunakan NPF ini untuk menilai tingkat kesehatan. Jadi kalo NPF tinggi itu akan mengurangi penilaian tingkat kesehatan dari OJK," kata Mulia.

Oleh karena itu, ia mengingatkan perusahaan paylater agar hati-hati dalam melakukan ekspansi pembiayaan.

"Jangan sampai rasio NPF melonjak tinggi ketika melakukan ekspansi pembiayaan," tutupnya. 

Baca Juga: Ditopang Kinerja Tenaga Pemasar, Nasabah Asuransi Jiwa Melonjak Jadi 87,54 Juta Orang

Penulis: Achmad Ghifari Firdaus
Editor: Ferrika Lukmana Sari

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: