Menu
Perbankan
Finansial
Asuransi
Multifinance
Fintech
Video
Indeks
About Us
Social Media

Marak Gagal Bayar, OJK Imbau Investor Pahami Ketentuan Sebelum Investasi di Platform Fintech

Marak Gagal Bayar, OJK Imbau Investor Pahami Ketentuan Sebelum Investasi di Platform Fintech Kredit Foto: Ist
WE Finance, Jakarta -

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan alasan terkait sejumlah gagal bayar yang terjadi pada perusahaan fintech peer to peer lending. Kondisi tersebut membuat tingkat risiko kredit atau tingkat wanprestasi (TWP90) industri fintech naik. 

Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK, Triyono mengungkapkan tingkat TWP90 industri fintech berada pada level 2,82% per April 2023. Level tersebut naik 2,81% dibandingkan bulan sebelummya.

"TWP90 atau ukuran tingkat kelalaian penyelesaian kewajiban nasabah pinjol di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo menjadi ukuran kualitas pendanaan," ujar Triyono pada acara sosialisasi UU PPSK di Jakarta, Selasa (13/6).

Untuk itu, Triyono menekankan pentingnya bagi investor mengetahui syarat dan ketentuan sebelum memutuskan untuk berinvestasi di platform fintech. 

Baca Juga: Naik 14,2%, Pembiayaan Perumahan BSI Tembus Rp 48,6 Triliun per April 2023

Bahkan sejumlah fintech alami gagal bayar. Salah satunya dialami PT Investree Radhika Jaya (Investree), di mana sebanyak lima peminjam terbesar mengalami gagal bayar. Rata-rata mereka alami gagal bayar sebesar Rp 5,55 miliar.

"Jadi, sebetulnya setelah kita teliti lagi (gagal bayar) memang terkait dengan investor individual yang belum terlalu paham bagaimana berinvestasi di dunia fintech. Oleh karena itu, pesan saya adalah bagi yang ingin masuk ke dalam dunia fintech pahami dulu bagaimana kondisinya," kata dia.

Triyono menilai pelaku usaha yang alami gagal bayar sebenarnya nasabah yang memiliki rekam jejak yang baik. Namun, karena kondisi pandemi Covid-19 sehingga mereka tidak bisa membayar pinjaman. 

"Kemarin itu (peminjam) sebelumnya punya track record yang baik, karena ada Covid-19 kemudian terimbas oleh krisis sehingga  mengalami gagal bayar. Intinya adalah historical mereka nasabah baik," ungkapnya.

Mengantisipasi hal tersebut, OJK mendorong perusahaan fintech menerapkan credit scoring dalam aktivitas bisnisnya. Hal tersebut sebagai upaya meminimalisir terjadinya gagal bayar oleh peminjam.

Terlebih, penerapan credit scoring telah ditetapkan pada POJK No.10/2022 yang wajibkan bahwa harus adanya penyaringan risiko dari masing-masing fintech untuk mengatahui profil peminjam. 

Baca Juga: Naik 14,2%, Pembiayaan Perumahan BSI Tembus Rp 48,6 Triliun per April 2023

"Harus ada filtering risiko dari masing-masing fintech lending. Mereka membantu membuat profil risikonya dengan credit scoring dan sebagainya. Tapi tetap saja tidak boleh 100% mengandalkan itu, jika ada sebuah service yang baik di luar yang lebih akurat melakukan credit scoring, kenapa tidak?," ujar Triyono.

Namun, hal tersebut memiliki pertimbangannya yang cukup banyak termasuk tambahan biaya. Namun itu semua terbayar dengan level akurasi dari prediksi credit scoring yang lebih akurat. 

Seperti diketahui, credit scoring atau penilaian kelayakan kredit calon nasabah diperlukan untuk memastikan institusi keuangan memberikan layanan pinjaman pada orang yang tepat.

Dalam prosesnya, sistem credit scoring menggunakan berbagai histori dan profil data yang dimiliki oleh nasabah dari transaksi-transaksi yang ada sebelumnya. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan mengakses Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) di OJK atau dulu disebut dengan BI-Checking

Baca Juga: Cegah Gagal Bayar, OJK Dorong Fintech Tingkatkan Sistem Credit Scoring

Penulis: Wenti Ayu Apsari
Editor: Ferrika Lukmana Sari

Bagikan Artikel: