Menu
Perbankan
Finansial
Asuransi
Multifinance
Fintech
Video
Indeks
About Us
Social Media

PwC: 5 Tahun Ke Depan, Perusahaan Keuangan Akan Terpapar Risiko Ketidakstabilan Ekonomi, Siber dan Inflasi

PwC: 5 Tahun Ke Depan, Perusahaan Keuangan Akan Terpapar Risiko Ketidakstabilan Ekonomi, Siber dan Inflasi Kredit Foto: Unsplash
WE Finance, Jakarta -

Ekonomi global saat ini telah memasuki periode slowbalisation, yakni fase baru globalisasi di mana integrasi dan arus perdagangan masih tumbuh, tetapi dengan laju yang lebih lambat. 

Ketegangan dalam perdagangan menjadi tantangan bagi rantai pasokan dan integrasi perekonomian global lebih lanjut. Perusahaan juga dihadapkan pada masalah lebih berhati-hati, serta terus mentransformasikan bisnis mereka untuk memenuhi tuntutan dunia yang semakin digital.

PwC Indonesia Financial Services Advisor, David Wake mengatakan kemajuan pesat yang berkelanjutan dalam kemampuan digital dan analitik dari dalam dan luar industri telah membuat banyak pemain berada di bawah tekanan.

“Di sektor asuransi, kami telah melihat peningkatan tajam dalam upaya digital dan adopsi di berbagai bidang seperti distribusi, operasional, dan klaim asuransi. Sektor ini berlomba-lomba untuk peningkatan digital dan teknologi berbasis data serta pasar modal yang menguat juga telah menyebabkan peningkatan dramatis dalam merger dan akuisisi selama beberapa tahun terakhir," jelas Wake dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (4/5).

Baca Juga: Lampaui Target, Penyaluran Kredit Bank Jatim Capai Rp 47,99 Triliun Pada Kuartal I 2023

Dia memprediksi banyak perusahaan asuransi yang akan terus memanfaatkan kondisi pasar untuk mengoptimalkan portofolio mereka, memperoleh kemampuan digital baru, dan menciptakan kemitraan strategis setelah peningkatan volume dan kesepakatan valuasi finansial global sebesar 40% pada 2021.

PwC Indonesia Consulting Advisor, John Dovaston menilai, konsumen mengubah cara mereka dalam menggunakan layanan finansial yang menandakan bahwa perusahaan tidak boleh diam terkait kemampuan digital mereka. Namun, para pemain tidak boleh menganggap transformasi digital menjadi satu-satunya cara untuk tetap unggul dalam persaingan. 

"Meskipun penting untuk bersaing dengan kompetitor, transformasi digital harus disesuaikan dengan kebutuhan khusus layanan. Sebuah perusahaan harus memastikan transformasinya sesuai dengan strateginya, karena transformasi benar-benar berkaitan dengan strategi," kata Dovaston.

Dia mengatakan, bank harus menyadari bahwa menyediakan layanan digital yang lebih maju sangat penting jika mereka ingin bersaing untuk mendapatkan pelanggan baru. Apalagi, adopsi solusi perbankan seluler dan online semakin cepat dikarenakan cloud banking. 

Menurut data PwC’s 26th Global CEO Survey, selama lima tahun ke depan, para CEO perusahaan keuangan merasa terpapar pada berbagai risiko, di antaranya ketidakstabilan ekonomi (34%), risiko siber (33%), dan inflasi (30%) dianggap sebagai ancaman terbesar.

Sementara konflik geopolitik (25%) dan perubahan iklim (22%) hanya menjadi perhatian yang sedikit lebih rendah. Dalam kasus keamanan siber, investasi dalam teknologi bisnis perlu berhati-hati untuk tidak menciptakan kerentanan siber.

Baca Juga: Bank - bank di AS Berguguran, Bagaimana Dampaknya Terhadap Perbankan Nasional?

PwC Global Financial Services Leader, John Garvey menambahkan, para CEO perbankan dan pasar modal jauh lebih khawatir tentang risiko siber daripada pemimpin di sektor lain. Mereka juga melihat ancaman akut terhadap profitabilitas dari perubahan perilaku konsumen (dikutip oleh 68% CEO perbankan, jauh di atas rata-rata keseluruhan).

"Untuk menanggapi ancaman tersebut, para CEO perbankan mengatakan mereka akan berinvestasi secara signifikan dalam teknologi seperti AI dan cloud solutions di tahun 2023, dan juga dengan mengotomatiskan proses dan sistem, dengan tujuan meningkatkan pengalaman konsumen," tutur  Garvey.

Mengutip dari survei, perusahaan FS berinvestasi dalam otomatisasi (81%), peningkatan keterampilan (74%), dan penerapan cloud, AI, dan teknologi canggih lainnya (74%). Hingga 60% dari investasi FS difokuskan untuk menemukan kembali bisnis untuk masa depan, dan 40% untuk melestarikan bisnis saat ini.

Baca Juga: Cegah Gagal Bayar, OJK Batasi Investasi Asuransi di Group Terafiliasi

Penulis: Alfi Salima Puteri
Editor: Ferrika Lukmana Sari

Bagikan Artikel: