Menu
Perbankan
Finansial
Asuransi
Multifinance
Fintech
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bos BRI: Potensi Resesi Indonesia Hanya 2% di 2023

Bos BRI: Potensi Resesi Indonesia Hanya 2% di 2023 Kredit Foto: BRI
WE Finance, Jakarta -

Direktur Utama BRI Sunarso mengungkapkan bahwa Indonesia  mampu bertahan dari ancaman risiko resesi dengan potensi resesi sebesar 2% di 2023. Keyakinan itu berdasarkan prediksi dari BRI dengan menggunakan metode Markov Switching Dynamic Model (MSDM).

Sunarso menyebut metode itu memperkuat evaluasi dan analisa Bloomberg sebelumnya, serta telah terbukti secara akurat pada kasus terdahulu.

“Alhamdulillah hasil analisis menunjukkan bahwa potensi resesi kita di Indonesia pada tahun 2023 ini hanya 2%. Metode ini telah secara akurat memproyeksi resesi di Indonesia pada ASEAN Financial Crisis tahun 1998 dan saat pandemi Covid-19 pada 2020 lalu,” ujar Sunarso dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VI, dikutip Kamis (30/3).

Sunarso menjelaskan terdapat dua faktor yang membuat ekonomi Indonesia relatif bertahan dan memiliki resiliensi tinggi. Pertama, masih kuatnya konsumsi domestik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Kedua, optimisme dari pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai mayoritas usaha di Indonesia.

“Jadi, masih kuatnya konsumsi domestik menjadi driver utama pertumbuhan GDP Indonesia. Kemudian berbagai upaya harus kita arahkan ke penguatan daya beli masyarakat, peningkatan konsumsi, penggunaan produk-produk dalam negeri. Itu yang harus kita dorong supaya benar-benar create job," kata Sunarso.

Baca Juga: Berikan Fasilitas Pembiayaan, BRI Finance Siap Akselerasi Pertumbuhan Motor Listrik

Sebagai tolak ukur yang menunjukkan tingkat optimisme para pelaku UMKM, indeks BRI menunjukan kenaikan rata-rata omset, penggunaan tenaga kerja dari 103 meningkat ke 105 pada kuartal IV 2022.

Selain itu, dari tolak ukur tersebut juga terlihat kepercayaan pelaku UMKM terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi semakin meningkat. Sebelumnya, Sunarso menjabarkan identifikasi dan pelajaran yang bisa dipetik dalam kasus SVB dan Credit Suisse.

Sebab, kedua bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan permodalan yang dihasilkan, bahkan tidak adanya antisipasi terhadap risiko ganda (multiple risk) mulai dari reputational risk yang dihasilkan pemberitaan penjualan saham perusahaan oleh para petinggi dan soal unreleased loss. 

Di sisi lain, tidak tersedianya likuiditas jangka pendek, diperparah dengan contingency funding plan yang gagal dan maturity mismatch asset sehingga adanya kenaikan suku bunga transaksi setempat dari 0,25% menjadi 4,75%.

“Ini menyebabkan unreleased loss yang IFRS yaitu available for sale naik hingga 15,54% terhadap modal. Jadi IFRSnya, aset-aset dia yang available for sale itu menjadi berpotensi rugi. Jadi, modalnya akan langsung berkurang sebesar itu potensinya," jelas Sunarso.

Terakhir, risiko yang sangat berbahaya juga dari concentration risk, di mana nasabah mengumpulkan portfolio surat berharga hanya terkonsentrasi di sektor startup dan teknologi. 

Baca Juga: Melalui POJK 28/2022, Igloo Prediksi Akan Tingkatkan Bisnis Insurtech di Tanah Air

Penulis: Wenti Ayu Apsari
Editor: Ferrika Lukmana Sari

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: