Menu
Perbankan
Finansial
Asuransi
Multifinance
Fintech
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengenal Bridge Bank, Strategi untuk Menangani Kasus Gagal Bayar di Industri Asuransi

Mengenal Bridge Bank, Strategi untuk Menangani Kasus Gagal Bayar di Industri Asuransi Kredit Foto: Indonesia Financial Group (IFG)
WE Finance, Jakarta -

BUMN holding asuransi, penjaminan, investasi, dan Indonesia Financial Group (IFG) melakukan langkah resolusi kasus gagal bayar di Industri Keuangan Non Bank (IKNB) melalui mekanisme bridge bank.

Komisaris Utama IFG dan juga Ekonom Senior Fauzi Ichsan mengatakan, instrumen penyelamatan lembaga keuangan yang sudah gagal sebenarnya sudah lengkap tersedia pada industri perbankan.

Misalnya, pasca Krisis moneter pada era 1997 - 1998 ditandai dengan sejumlah bank yang dinyatakan bangkrut dan terjadi penarikan uang secara massal (rush money), sistem keuangan Indonesia mulai berbenah dengan hadirnya Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).

"Institusi tersebut dilengkapi dengan sejumlah instrumen resolusi bank gagal, di antaranya mekanisme likuidasi, penyertaan modal sementara (PMS), opsi purchase and assumption, dan opsi pengalihan sementara melalui bridge bank," ujar Fauzi dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (24/1).

Baca Juga: BI Ramal Simpanan Perbankan Melambat Pada Tabungan dan Giro di Kuartal I 2023

Menurutnya, industri asuransi tidak pernah mengalami krisis serupa. Pemegang polis juga tidak bisa berbondong-bondong menarik uangnya karena memang secara kontrak tidak bisa dilakukan. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan asuransi yang secara permodalan minim, tetapi masih bisa diperbolehkan beroperasi.

Di sisi lain, industri asuransi juga tidak memiliki institusi serupa LPS yang menjadi garda akhir untuk solusi perusahaan asuransi yang gagal.

Fauzi mengatakan, dengan tidak adanya otoritas resolusi di industri asuransi serta opsi penyelamatan yang bisa menangani kasus perusahaan asuransi yang gagal, mau tidak mau, IKNB harus berkaca pada industri perbankan.

"Resolusi dengan opsi bridge bank yang pernah dilakukan IFG dalam menangani perusahaan asuransi yang gagal menjadi salah satu contoh terbaik dalam kondisi tersebut,” ujarnya.

Fauzi yang juga pernah menjadi Kepala Eksekutif LPS menjelaskan, penanganan perusahaan asuransi yang gagal dengan mekanisme bridge bank membelah perusahaan asuransi tersebut menjadi dua bagian.

Meminjam istilah dari industri perbankan, bagian pertama adalah bank asal yang gagal dijuluki bad bank dan nantinya akan dilikuidasi. Kedua adalah good bank, dibentuk baru untuk menerima aset yang sehat dan kewajiban dengan status hukum yang paling tinggi dari bank asal.

Berbeda dengan resolusi bridge bank di perbankan, di mana simpanan nasabah bank asal yang gagal tidak direstrukturisasi atau didiskon. Sementara polis dan kewajiban dari perusahaan asuransi yang gagal direstrukturisasi terlebih dahulu sebelum dialihkan ke good bank.

"Opsi ini mengurangi beban penyuntikkan modal segar kepada good bank," ujarnya.

Fauzi mengatakan, melalui pengalihan aset dan kewajiban yang sehat tersebut, opsi penyehatan lainnya dapat terbuka. Opsi tersebut termasuk penyertaan modal negara (PMN), mengundang investor strategis, bahkan nantinya penerbitan saham perdana (IPO).

Dengan opsi resolusi bridge bank, maka biaya penyelamatan bank atau perusahaan asuransi yang gagal menjadi lebih murah, termasuk biaya yang harus diemban negara. Selain itu, resolusi ini menjamin keberlanjutan nilai tambah bagi pemegang polis dan bisnisnya berkelanjutan.

“Pengalaman IFG dalam menerapkan resolusi bridge bank untuk industri asuransi adalah metode resolusi yang baru di dunia keuangan global. Belum pernah ada perusahaan asuransi gagal yang diselamatkan melalui metode bridge bank," pungkas Fauzi.

Baca Juga: Animo Tinggi, Bank Commonwealth Optimis Capai Target Penjualan SBN Ritel

Penulis: Achmad Ghifari Firdaus
Editor: Ferrika Lukmana Sari

Bagikan Artikel: